Moderasi beragama, dalam perspektif historis mengenai kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara, bukanlah hal baru sebagaimana terlihat dalam praktik empat hal, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Demikian ditegaskan oleh Didin Nurul Rosidin dalam Workshop Moderasi Beragama FISIP UIN Bandung dengan tema “Moderasi Beragama dalam Perspektif Historis dan Aktivisme” yang diselenggarakan di Shakti Hotel Bandung pada 5 Oktober 2022.
Didin Rosidin, direktur pesantren Al-Mutawally Kuningan dan akademisi IAIN Cireboon, juga mengajak hadirin untuk mengambil pelajaran dari sejarah Islamisasi di negara lain yang berakhir pada kemusnahan umat Islam. Islam di Andalusia (Spanyol sekarang) berhasil melahirkan peradaban tinggi dengan para ilmuwan yang hebat, tapi kemudian mengalami kemusnahan yang diakibatkan, salah satunya, oleh pemisahan warga berdasarkan etnik dan tidak adanya oleh penguasa Muslim di Andalusia terhadapa budaya lokal.
Dalam seminar yang dimoderasi oleh Siti Alia ini, pembicara lainnya, Deni Ahmad Haedari, ketua Gerakan Pemuda Ansor Wilayah Jabar, yang berbicara dalam perspektif aktivisme menyatakan bahwa moderasi beragama merupakan sikap beragama yang seimbang dan adil antara keyakinan penuh akan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik dan keimanan penganut agama lain (inklusif). Islam yang rahmatan lil alamin ini paling mungkin diwujudkan ketika umat Islam ini berpegang pada sikap ini.
Menurut Deni Ahmad, inilah kewajiban besar bagi UIN Bandung dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam untuk mendorong umat Islam memahami dan menerapkan prinsip moderasi beragama ini. Juga UIN Bandung diharapkan untuk menjadi unggul bukan hanya dalam perkataan, tapi juga dalam implementasi ajaran Islam. Akademisi khususnya mesti mendorong mahasiswa untuk memiliki etos kerja dan belajar yang unggul untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
[penulis: siti alia; editor: amiqbal].