
Sumber Foto : Portal Jabarprovgoid
1 Muharram menandai awal tahun baru dalam kalender Hijriah, sebuah sistem penanggalan yang sangat bermakna bagi umat Islam. Namun, lebih dari sekadar pergantian angka tahun, 1 Muharram membawa pesan spiritual yang dalam: saatnya berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan bertanya pada diri sendiri. Sudah sejauh mana perjalanan hidup ini memberi manfaat dan mendekatkan kita kepada Allah SWT?
Hijrah yang menjadi dasar penanggalan Hijriah bukanlah peristiwa biasa. Saat itu, Rasulullah SAW beserta para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya untuk menyelamatkan diri dari penindasan, tetapi untuk membuka lembaran baru dalam dakwah Islam yang lebih luas dan sistematis. Hijrah menjadi simbol perubahan besar, sebuah transformasi strategis yang dilakukan demi kemaslahatan umat.
Kini, makna hijrah tidak lagi terbatas pada perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah modern adalah perjalanan batin, menjadi perpindahan dari ketidaktahuan menuju ilmu, dari kemalasan menuju semangat, dari kebiasaan buruk menuju akhlak mulia. Dalam konteks kekinian, terutama di dunia akademik dan keilmuan, hijrah berarti memperbaiki arah berpikir, menata kembali niat, dan menjadikan ilmu sebagai jalan mendekat kepada Sang Pencipta.
Hijrah dalam Dunia Akademik: Sinergi antara Intelektual dan Spiritual
Bagi kalangan akademisi baik mahasiswa, dosen, maupun peneliti, tahun baru Hijriah semestinya bukan hanya menjadi momen administratif dalam kalender akademik. Lebih dari itu, ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merenung: apakah ilmu yang kita pelajari dan ajarkan selama ini sudah benar-benar memberi dampak positif? Apakah sudah menyentuh sisi rohani dan sosial, atau justru hanya menjadi kumpulan teori tanpa makna spiritual?
Ilmu yang sejati seharusnya menyadarkan manusia tentang kebesaran Allah. Seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, QS Fathir ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ayat ini menegaskan bahwa puncak dari ilmu bukanlah gelar, pangkat, atau pengakuan, tetapi rasa takut dan tunduk kepada Allah. Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang terjebak dalam kesibukan akademik, sibuk mengejar prestasi, penelitian, atau publikasi, namun lupa menanamkan ruh keimanan dalam prosesnya. Maka, 1 Muharram adalah panggilan untuk kembali menata ulang relasi antara ilmu dan iman.
1 Muharram sebagai Waktu Refleksi dan Perubahan
Perlu dipahami, Rasulullah SAW tidak pernah memberikan tuntunan khusus dalam bentuk tradisi atau ibadah tertentu untuk menyambut tahun baru Hijriah. Namun, ini bukan berarti kita melewatkan begitu saja momen tersebut. Justru, dengan pemahaman yang mendalam, kita bisa memaknainya sebagai saat yang paling tepat untuk mengevaluasi diri dan memperbaiki arah kehidupan.
Bagi mahasiswa, momen ini bisa dijadikan titik awal untuk memperkuat semangat belajar, menata kembali niat mencari ilmu karena Allah, dan lebih aktif dalam kegiatan yang membawa manfaat bagi sesama. Diskusi ilmiah, kajian keislaman, atau bahkan gerakan sosial kecil bisa menjadi wujud hijrah yang nyata.
Bagi para dosen, akademisi, atau siapa pun yang bergelut di dunia pendidikan, ini adalah waktu untuk bertanya: Apakah ilmu yang saya sampaikan telah membentuk generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual? Sudahkah ilmu itu menjadi cahaya yang menerangi jalan orang lain?
Menjadikan Hijrah Sebagai Gaya Hidup
Hijrah bukan hanya peristiwa sejarah, tapi harus menjadi pola hidup. Setiap hari sejatinya adalah proses hijrah: dari malas menjadi rajin, dari sombong menjadi rendah hati, dari lalai menjadi taat. Dan 1 Muharram adalah pengingat bahwa perubahan itu perlu dimulai sekarang, karena waktu terus berjalan dan usia tidak akan pernah kembali.
Kita tidak pernah tahu kapan akhir dari garis hidup kita. Maka, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai perubahan selain hari ini. Tahun baru Hijriah bukan untuk dirayakan secara seremonial, tapi untuk dijalani dengan kesadaran penuh bahwa hidup ini sementara, dan bekal terbaik adalah amal yang lahir dari ilmu dan keimanan yang benar.
Catatan Redaksi:
Konten ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak H. Asep Dadan Wildan, M.A., dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.