Jakarta – Pada 19 Maret Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengumumkan Jakarta sebagai episentrum kasus Covid-19 di Indonesia. Anies lalu menyebut eskalasi angka terpapar Covid-19 yang luar bisa terjadi di Jakarta dalam satu hari dari 160 orang menjadi 208 selang satu hari berikutnya. Sebulan kemudian, pada April, penyebaran orang terpapar Covid-19 tersebut sudah mulai bergeser ke beberapa daerah penyangga ibu kota seperti Bogor, Depok, dan Bekasi.
Dari Jakarta pula kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai diberlakukan pada 23 April 2020. Namun, hal ini justru mendorong arus keluar para perantau untuk kembali lebih awal ke daerah asal mereka. Alih-alih membatasi pergerakan orang, PSBB pada awalnya justru mendorong para kaum urban tersebut untuk “mudik” lebih awal.
Seiring dengan munculnya arus “mudik” atau “pulang kampung” ini, maka posisi Jakarta sebagai episentrum penyebaran Covid 19 mulai menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Para perantau dari Jakarta tadi dinilai potensial menjadi pembawa (carrier) virus Covid-19 yang akan memperluas penyebaran pandemi ini ke daerah-daerah di luar Jakarta.
Menetes dari Jakarta
Konsep trickle down effect dikenal dalam teori ekonomi sebagai pilihan strategi pembangunan. Teori ini dikenalkan oleh ekonom Albert Hirschman (1915-2012) yang menegaskan pentingnya peranan kutub pertumbuhan wilayah sebagai penggerak utama atau lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah lain atau yang dikenal sebagai trickle down effect (dampak tetesan ke bawah).
Namun sebenarnya asal usul istilah trickle down effect ini adalah sebuah satire yang dikemukakan oleh Will Rogers, seorang komedian yang mengkritik kebijakan Presiden Herbert Hoover ketika berupaya mengatasi depresi besar ekonomi (the great depression) di Amerika pada dekade 1920-an. Rogers berujar, “Money was all appropriated for the top in the hopes it would trickle down to the needy.” (Keller, 2017)
Satire ini lalu menjadi dogma ekonomi dan dipakai diberbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia pada era Orde Baru (1966-1997). Pada masa Orde Baru, pembangunan dalam berbagai aspeknya baik ekonomi dan juga sosial politik dilangsungkan secara terpusat di Jakarta sebagai ibu kota negara. Strategi ini dilakukan dengan harapan setelah kemakmuran dan keberhasilan pembangunan di Jakarta tercapai, maka selanjutnya akan dengan sendirinya meneteskan kesejahteraan pembangunan ke daerah-daerah.
Prinsip pembangunan terpusat ini bertahan hampir 32 tahun selama usia rezim yang mengandalkan pada ideologi developmentalisme. Namun alih-alih mendorong pertumbuhan pembangunan di daerah-daerah, strategi ekonomi trickle down effect ini justru telah menciptakan kesenjangan luar biasa antara pusat dan daerah. Puncaknya adalah Reformasi 1998 yang menuntut desentralisasi dan pemberian wewenang pembangunan ke daerah-daerah.
Meskipun sudah hampir lebih dua dekade desentralisasi melalui Reformasi ini dijalankan, jejak penerapan pembangunan terpusat itu tidak begitu saja hilang. Pandemi Covid-19 telah membuka secara terang benderang bahwa lapisan-lapisan kehidupan yang tergantung pada pusat tersebut masih ada. Pada saat terjadi pandemi ini, kita menyaksikan posisi daerah yang masih harus menunggu restu pusat dalam penanganan penyebaran pandemi Covid-19.
Bagaimana kuasa pusat masih digdaya tampak misalnya pada teguran pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, Tito Karnavian yang menegur inisiatif Gubernur DKI atas kebijakan lockdown atau pelaksanaan karantina wilayah, kemudian Wali Kota Tegal yang mengurungkan rencana yang sama untuk karantina wilayahnya, hingga proses tes untuk pasien Covid-19 yang juga masih harus dilakukan di laboratorium rumah sakit yang ada di Jakarta. Inilah jejak dari relasi terpusat dan ketergantungan daerah terhadap pusat dalam merespons Covid-19 ini.
Dalam perkembangan pandemi ini, yang terjadi sekarang adalah sebuah efek menetes penyebaran Covid-19 dari Jakarta sebagai episentrum ke daerah-daerah. Namun, pada saat bersamaan respons yang dilakukan daerah masih harus terus bergantung pada restu pusat. Pengajuan PSBB yang diajukan beberapa daerah bahkan urung dilaksanakan karena tidak mendapat izin dari Kementerian Kesehatan. Padahal setiap daerah menghadapi situasi yang berbeda dalam menghadapi pandemi ini.
Dalam hal ini, menyebarnya pandemi Covid-19 ke kampung dan desa-desa terasa menjadi sebuah satire dari trickle down effect sebagaimana dikemukakan Will Rogers di mana daerah menanggung persoalan akibat dari penyebaran Covid-19 mulai dari potensi penyebaran yang semakin masif melalui para pemudik, hingga munculnya berbagai problem sosial seperti pengangguran, kecemasan, stigma terhadap pasien Covid-19 hingga social distrust yang muncul dalam hubungan antara warga karena keberadaan berbagai status orang dari ODP, PDP, dan OTG yang telah kembali ke kampung-kampung di seluruh Indonesia.
Karena itu penanganan pandemi Covid-19 ini membutuhkan tidak hanya sekadar recovery secara medis, tetapi lebih luas dan fundamental mencakup tata cara kehidupan berbangsa bernegara kita.
Dede Syarif peneliti dan dosen Sosiologi pada Fisip UIN Bandung