Kebahagiaan dan kebanggaan sudah semestinya dirasakan dan dimeriahkan oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 2024, hari di mana bangsa ini ini memasuki peringatan ke-79 kemerdekaan Indonesia sejak proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Di tengah suasana ini, penting memperhatikan pernyataan dari menteri sosial bahwa generasi muda kita tidak tahu sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari penjajahan dan melupakan pahlawan-pahlawan bangsa ini, sebagaimana dikutip dalam sejumlah media.
Muncul pertanyaan mengenai sejauh mana engagement generasi muda sekarang dengan memori kolonial bangsa ini: Apakah mereka masih merasa terlibat dan terikat dengan sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan membebaskan diri dari kolonialisme di masa lalu?
Memang terjadi keragaman tingkat engagement anak muda di berbagai negara dengan masa lalu kolonialisme mereka. Di beberapa negara, engagement ini masih kuat, tetapi di negara lain mengalami penurunan atau rendah tingkatnya. Indonesia tampaknya termasuk kategori kedua ini. Mengapa terjadi penurunan tingkat memori kolonial di kalangan generasi muda dan apa yang mesti dilakukan untuk merespon ini?
Memori Kolonialisme
Memori kolonialisme adalah sebuah wilayah yang kompleks dan sering kali diperdebatkan, terutama bagi pemuda di negara-negara pasca-kolonial. Sebagai pewaris dunia yang dibentuk oleh sejarah kolonial, generasi muda saat ini berinteraksi dengan memori ini dalam berbagai cara. Bagi sebagian orang, warisan kolonialisme menjadi kekuatan pendorong dalam identitas dan aktivisme mereka, sementara bagi yang lain, itu adalah bab sejarah yang jauh, tertutupi oleh kekhawatiran yang lebih mendesak.
Keterlibatan pemuda dengan memori kolonialisme sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sistem pendidikan, tradisi keluarga dan komunitas, dan lingkungan sosial-politik. Cara sejarah diajarkan di sekolah memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana pemuda memandang kolonialisme. Di beberapa negara, sejarah kolonialisme menjadi bagian utama dari kurikulum, disajikan bukan hanya sebagai fakta sejarah tetapi sebagai dasar untuk memahami masalah sosial dan politik kontemporer. Misalnya, di negara-negara seperti Indonesia, Afrika Selatan dan India, di mana perjuangan melawan kolonialisme adalah momen penting dalam sejarah nasional, sekolah sering menekankan kisah para pahlawan kemerdekaan dan perjuangan mereka melawan neokolonialisme dan ketidaksetaraan. Pendekatan ini membantu pemuda melihat relevansi memori kolonial dalam kehidupan mereka saat ini.
Di banyak komunitas, memori kolonialisme juga dijaga melalui tradisi lisan dan peringatan lokal. Orang-orang tua membagikan pengalaman mereka dan kisah-kisah mereka melawan kekuasaan kolonial, menanamkan rasa bangga dan identitas pada generasi muda. Hal ini terutama terlihat dalam komunitas adat, di mana dampak kolonialisme sering kali paling parah. Bagi para pemuda ini, memori kolonialisme terjalin dengan identitas budaya mereka dan upaya berkelanjutan untuk melestarikan warisan mereka.
Selain itu, iklim politik saat ini juga dapat memengaruhi bagaimana pemuda terlibat dengan memori kolonialisme. Di negara-negara yang menghadapi tantangan sosial dan ekonomi, memori kolonialisme dapat menjadi alat yang kuat untuk memahami dan mengkritisi masalah kontemporer. Misalnya, di banyak negara Afrika dan Amerika Latin, gerakan pemuda menarik paralel antara kolonialisme historis dan bentuk-bentuk eksploitasi modern, seperti ketergantungan ekonomi dan degradasi lingkungan. Gerakan-gerakan ini sering menginvokasi memori kolonialisme untuk menuntut keadilan dan kesetaraan di masa kini.
Menurunnya Keterlibatan Generasi dengan Memori Kolonialisme
Meskipun ada engagement atau potensi keterhubungan yang mendalam dengan memori kolonialisme, banyak generasi muda saat ini menghadapi tantangan untuk terlibat dengan aspek sejarah ini. Ha ini berkaitan, pertama, dengan globalisasi dan pelemahan budaya bangsa. Bangkitnya budaya global, yang difasilitasi oleh internet dan media sosial, telah menciptakan dunia yang lebih saling terhubung di mana sejarah nasional terkadang terasa kurang relevan. Banyak pemuda lebih mengidentifikasi diri budaya global daripada dengan budaya dan sejarah spesifik negara mereka. Hal ini dapat menyebabkan pelemahan memori kolonialisme karena narasi global menutupi sejarah nasional dan lokal mereka.
Kedua, adanya jarak sejarah. Bagi generasi muda, terutama di negara-negara yang merdeka di pertengahan abad lalu, era kolonial dapat terasa seperti periode yang jauh dan abstrak. Tanpa hubungan langsung dengan mereka yang mengalami kolonialisme, pemuda mungkin kesulitan untuk merasakan peristiwa tersebut dan memahami pentingnya. Jarak sejarah ini dapat menciptakan rasa keterputusan sehingga sulit bagi pemuda untuk terlibat secara bermakna dengan memori kolonialisme.
Terakhir, faktor narasi yang terfragmentasi. Di beberapa negara, memori kolonialisme diperebutkan atau terfragmentasi, dengan kelompok-kelompok berbeda yang menawarkan narasi yang bersaing. Ini dapat menciptakan kebingungan dan apatisme di kalangan pemuda, yang mungkin tidak yakin versi sejarah mana yang harus dipercaya. Di tempat-tempat di mana masa lalu kolonial dianggap tidak penting, pemuda mungkin tidak memiliki akses ke cerita lengkap, yang mengarah pada pemahaman yang dangkal tentang sejarah negara mereka.
Dalam konteks Indonesia, lemahnya engagement generasi muda dengan memori kolonialisme memiliki implikasi signifikan bagi masa depan bangsa dan masyarakat kita. Jika keterhubungan ini lemah atau terdistorsi, hal itu dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sejarah dan berkurangnya kemampuan untuk menangani warisan kolonialisme yang masih ada hingga saat ini. Keterhubungan yang lemah dengan memori kolonialisime dapat pemuda meras tidak terinspirasi dengan kuat untuk melanjutkan perjuangan pendahulu kita dan memperjuangkan cita-cita mereka meraih keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan pelestarian budaya.
Menguatkan Engagement Generasi dengan Memori Kolonialisme
Cara pemuda terlibat dengan memori kolonialisme memiliki implikasi signifikan bagi masa depan masyarakat bangsa Indonesia pasca-kolonial. Keterhubungan yang kuat dengan memori ini dapat menginspirasi pemuda untuk melanjutkan perjuangan pahlawan dan pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kemajuan. Untuk itu, beberapa hal bisa dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan engagement generasi muda dengan memori kolonialisme ini.
Pertama, menghidupkan kembali memori sejarah secara inovatif di kalangan generasi muda. Untuk memastikan bahwa memori kolonialisme tetap relevan, penting untuk menghidupkan kembali cara sejarah diajarkan dan dibahas. Sistem pendidikan seharusnya tidak hanya menyajikan fakta-fakta kolonialisme tetapi juga menghubungkannya dengan isu-isu kontemporer dan menunjukkan kepada pemuda bagaimana masa lalu membentuk masa kini dengan cara-cara yang inovatif dan akrab dengan dunia anak muda. Sekolah, komunitas, dan pemerintah dapat bekerja sama untuk menciptakan ruang di mana pemuda dapat terlibat dengan sejarah secara bermakna, baik melalui pembelajaran interaktif, pertukaran budaya, atau penceritaan digital.
Kedua, mempromosikan narasi inklusif. Penting juga untuk mempromosikan narasi inklusif yang mengakui beragam pengalaman kolonialisme di berbagai komunitas. Ini termasuk menyoroti suara-suara dari kelompok yang terpinggirkan yang sering kali dikeluarkan dari sejarah nasional, seperti perempuan, masyarakat adat, dan kelas bawah. Dengan menyajikan gambaran yang lebih lengkap dan nuansa tentang masa lalu kolonial, pemuda sekarang dapat mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang warisan mereka dan perjuangan yang berkelanjutan untuk keadilan dan kesetaraan.
Terakhir, menghubungkan masa lalu dan masa kini. Penting ntuk membantu generasi muda melihat keterhubungan antara memori kolonialisme dan tantangan yang mereka hadapi saat ini. Melalui aktivisme, pendidikan, atau seni, pemuda dapat menggunakan memori kolonialisme sebagai lensa untuk menganalisis dan menangani isu-isu kontemporer seperti ketidaksetaraan, rasisme, dan degradasi lingkungan. Dengan memanfaatkan pelajaran dari masa lalu, mereka dapat bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan setara.
Memori kolonialisme tetap menjadi aspek penting dari identitas dan aktivisme bagi banyak generasi muda di negara dan masyarakat pasca-kolonial seperti bangsa Indonesia. Namun, engagement mereka dengan memori ini sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pendidikan, narasi keluarga, dan lingkungan sosial-politik. Sebagian mereka memiliki keterhubungan yang mendalam dengan masa lalu kolonial dan relevansinya dengan kehidupan mereka saat ini, tetapi sebagian lain mungkin merasa lebih jauh atau merasa tidak terlibat sama sekali.
Untuk memastikan bahwa memori kolonialisme terus menginspirasi dan memberi pengaruh pada generasi mendatang, penting untuk menghidupkan kembali pendidikan sejarah, mempromosikan narasi inklusif, dan menghubungkan masa lalu dengan masa kini secara inovatif dan adaptif dengan kehidupan generasi muda. Dengan melakukan hal ini, pemuda dapat menavigasi masa depan bangsa ini ke arah yang sesuai dengan cita-cita dan impian para pahlawan dan pendiri bangsa ketika melawan kolonialisme di abad lalu. Dengan demikian, peringatan kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan dengan cara-cara inovatif, kreatif dan adaptif dengan kehidupan anak muda tanpa abai substansi merupakan sebuah keniscayaan.
Asep Muhamad Iqbal, Centre for Asian Social Science Research, FISIP, UIN Bandung