Selamat Datang Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung!

Forum Dosen FISIP (FDF) ke-32: “Tri Tangtu di Bumi: Sistem Pemerintahan Sunda dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)”

Acara Forum Dosen FISIP (FDF) ke-32 yang digelar oleh Centre for Asian Social Science Research (CASSR) UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Rabu, 5 November 2025, berlangsung hangat dan penuh makna. Forum yang diadakan di Aula FISIP 1 ini menghadirkan budayawan sekaligus sastrawan Sunda, Tatang Sumarsono, sebagai pembicara utama dengan tema “Tri Tangtu di Bumi: Sistem Pemerintahan Sunda dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)”. Kegiatan dipandu oleh Rosa Maria Rostandi, S.E., M.M., dan dihadiri oleh dosen serta mahasiswa yang antusias mengikuti jalannya diskusi.

Direktur CASSR, Dr. Asep Muhammad Iqbal, Ph.D., membuka acara dengan sambutan inspiratif yang menekankan pentingnya kecintaan terhadap budaya Sunda dan tanggung jawab akademisi dalam mengembangkan nilai-nilai lokal. Ia menyampaikan bahwa mencintai Sunda bukan sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga menghidupkan semangat berpikir yang membumi dan berkarakter. “Ini adalah langkah awal kita untuk lebih mencintai tanah Sunda, tempat UIN Sunan Gunung Djati Bandung berdiri,” ujarnya dalam pembukaan, disambut tepuk tangan peserta.

Dalam pemaparannya, Tatang Sumarsono menjelaskan bahwa konsep Tri Tangtu di Bumi (TdB) yang termuat dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian merupakan bentuk awal dari sistem pembagian kekuasaan yang dikenal jauh sebelum teori Trias Politika milik Montesquieu muncul di Eropa. Naskah tersebut memuat tiga elemen penting dalam pengelolaan negara, yaitu Prabu, Rama, dan Resi. Ketiganya menggambarkan keseimbangan kekuasaan dan moralitas yang menjadi dasar harmoni dalam pemerintahan Sunda kuno.

Tatang menjelaskan, Prabu melambangkan kekuasaan pemerintahan yang kuat dan teguh seperti “ngagurat batu”, yakni pemimpin yang kokoh dan berpegang pada keputusan. Rama melambangkan kebijaksanaan dan arah kebijakan publik, digambarkan dengan “ngagurat lemah”, yakni menuntun masyarakat menuju kebaikan. Sementara Resi melambangkan kekuatan spiritual dan moral yang menenangkan, disebut “ngagurat cai”, yakni mendamaikan dan menenteramkan ketika terjadi pertentangan di tengah masyarakat. Tiga konsep itu, menurutnya, tidak hanya membagi fungsi kekuasaan tetapi juga menyeimbangkan dimensi bayu (kekuatan), sabda (kebijaksanaan), dan hedap (nurani) yang membentuk tatanan ideal masyarakat Sunda.

Menariknya, Tatang menegaskan bahwa Tri Tangtu di Bumi ditulis pada tahun 1518 Masehi, sekitar dua abad sebelum Trias Politika dipublikasikan oleh Montesquieu. Perbedaannya terletak pada landasan filosofis—Trias Politika lahir dari rasionalitas sekuler, sedangkan Tri Tangtu di Bumi berpijak pada nilai spiritualitas dan keseimbangan moral. Konsep ini membuktikan bahwa masyarakat Nusantara, khususnya Sunda, telah memiliki sistem pemerintahan yang kompleks dan manusiawi jauh sebelum konsep modern Barat dikenal luas.

Lebih lanjut, Tatang mengajak peserta forum untuk melihat Tri Tangtu di Bumi bukan sebagai artefak masa lalu, tetapi sebagai gagasan hidup yang bisa dijadikan inspirasi dalam etika publik dan tata kelola pemerintahan masa kini. Ia menekankan bahwa prebu-rama-resi adalah simbol kerja bersama antara kekuatan, kebijaksanaan, dan nurani yang harus berjalan seimbang agar negara tidak kehilangan arah.

Forum berjalan interaktif dengan diskusi antara peserta dan narasumber. Para dosen dan mahasiswa menyoroti relevansi konsep ini dalam konteks demokrasi modern dan pendidikan karakter politik di kampus. Di akhir acara, moderator Rosa Maria Rostandi menegaskan bahwa forum seperti ini menjadi ruang reflektif bagi sivitas akademika untuk menelusuri kembali akar intelektual lokal yang sarat nilai kebijaksanaan.

Kegiatan ditutup dengan penyerahan cinderamata kepada narasumber dan foto bersama seluruh peserta. Melalui forum ini, CASSR kembali menegaskan komitmennya untuk menghadirkan kajian yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai lokal yang membentuk identitas keilmuan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Writer: Impiani, S.Hum., M.Si.

Scroll to Top